Saturday, January 09, 2010

9 Tahun 18 Hari yang Lalu.

Sedikit kembali ke masa lalu.

Hari Ibu, sekitar tahun 2000.



Hari itu, kebetulan aku sedang berada di rumah orangtuaku di daerah Perumnas. FYI, selama 6 tahun Sekolah Dasar aku tinggal di rumah Nenek di daerah A. Rivai. Hanya tiap akhir pekan atau hari libur aku pulang ke ’rumah’. Jadi, waktu berkumpul bersama Ayah dan Ibu adalah hal yang sangat jarang untukku waktu itu.


Awalnya tidak ada rencana khusus untuk merayakan hari Ibu, bahkan aku pun tidak tahu kalau hati itu adalah Hari Ibu. Ya, saya, Mully Herdina yang waktu itu duduk di kelas Empat SD tidak tahu bahwa tanggal 22 Desember (atau 23 Desember?) adalah Hari Ibu. Mungkin sampai sekarang pun aku tak tahu.


Dan datanglah Dian, teman sebelah rumah, anak yang manis, penurut, tipikal anak yang oleh Ibu, kau akan selalu dibandingkan dengannya. (Kau tahu, seperti ’Dian rajin, kau tidak rajin’ atau ’Dian penurut dan kau tidak’). Dia memberitahu bahwa hari itu adalah hari Ibu dan mengajakku ke pasar untuk membelikan Ibu hadiah. ’Hmm, kenapa tidak?’ pikirku. Akhirnya, dengan uang sepuluh ribu rupiah, Dian dan aku pergi bersepeda ke pasar Perumnas.


Keadaan pasar waktu itu ramai, tipikal pasar pada hari libur, semakin menambah beban untuk mencari kado yang tepat. Ya, dari awal kami belum memutuskan ingin membeli apa untuk Ibu.

Dengan uang sepuluh ribu, di pikiran naif kami berkelebat gambaran saputangan (dicoret karna Ibu lebih suka menggunakan tisu), lalu cincin (huh, sepuluh ribu?) dan akhirnya pilihan jatuh ke vas bunga. Bisa langsung dengan bunganya, pikir kami saat itu.


Setelah berkeliling, akhirnya vas bunga yang diinginkan pun didapat. Setelah tawa-menawar yang panjang ( ya, anak kelas 4 sd ini sudah bisa menawar! Kami memang anak perempuan Ibu dan Mama! :) ), vas bunga ukuran sedang didapat dengan harga 7 ribu rupiah.

Aku memilih vas bunga yang berwarna dasar biru dengan pola bunga kecil berwarna putih. Akan cocok dengan bunga mawar putih Ibu yang sedang mekar. Dian lebih memilih vas berwarna pink, sesuai dengan warna favorit Mama, katanya.


Makan siang pada hari libur adalah waktu yang paling kutunggu sepanjang minggu, karena 5 anggota keluarga berkumpul mengelilingi satu meja bundar dan makan bersama. Pengalaman yang waktu itu hanya dapat aku rasakan seminggu sekali. Waktu yang biasanya aku harap akan berlangsung lama kerna begitu banyak yang ingin aku ceritakan dengan keluarga, entah kenapa hari itu aku sangat berharap cepat berakhir. Vas bunga biru dengan mawar putihku sudah tak sabar lagi bertemu Ibu.


Dengan malu aku mengulurkan vas dan berkata, ’Selamat Hari Ibu!’. Reaksi Ibu waktu itu awalnya diam (mungkin kaget karna anak perempuannya yang pemalas ini tahu apa dan kapan Hari Ibu itu), lalu tersenyum dan berkata, ’Terimakasih Nak.’ Lalu memelukku dan mencium kepalaku. Sedangkan Ayah, langsung menempatkan vas biruku di bufet ruang tamu. Biar ruang tamunya wangi mawar, katanya.


Itu sembilan tahun delapan belas hari yang lalu. Sudah lama. Kalau hari ini novel ’5cm’-ku tidak hilang, dan aku tidak mencarinya di bufet kamar Ibu, mungkin aku tidak akan pernah ingat lagi dengan vas biruku.

Warnanya masih biru tapi tidak secerah dulu, pola bunga kecil putih-nya pun masih ada, hanya sekarang sudah sedikit menguning di beberapa tempat. Sekarang sudah tidak ada lagi tangkai mawar putih dan bagian atas dari vasku sudah retak, patah malah. Keadaannya sudah tidak layak lagi untuk disimpan.


Aku masih ingat setiap kata Ibu waktu aku menunjukkan vas biruku yang sudah patah, Ibu bilang:


’Itu kan hadiah dari Wiek, walaupun sudah patah karna kesenggol pembantu, bakal tetep Ibu simpen. Hadiah pertama untuk Ibu di Hari Ibu.’


AKU SAYANG IBU.

:*


PS(es).

- Terimakasih buat Dian, sekarang dimana? Aku kangeeeennnn ingin keteeemmmuu..

- Terimakasih buat Ayah atas uang sepuluh ribunya. Maaf waktu itu bohong pas ditanya buat beli apa. Dan maaf lagi, sisa tiga ribunya aku beliin es krim conello pelangi. :P

- Terimakasih buat Novel 5 cm-ku yang hilang yang dengan hilangnya dapat mempertemukan aku dengan vas biruku.

No comments:

Post a Comment